Jumat, 24 Februari 2012

Pura Agung Wana Kertha Jagat Nata Palu





Umat Hindu Sulawesi Tengah Gelar Nyatur Pulekerti lan Mupuk Padagingan Bertepatan dengan Purnamaning Kalima, Jumat (22/10) kemarin, menjadi hari membahagiakan umat Hindu Sulawesi Tengah. Mereka menggelar upacara Nyatur Pulekerti lan Mupuk Padagingan di Pura Agung Wana Kerta Jagatnatha, Sulawesi Tengah. Upacara dengan tingkatan utamaning madya itu pertama kalinya digelar sejak pura didirikan 26 tahun silam (14 April 1984). Puncak karya dihadiri Dirjen Bimas Hindu Kemeterian Agama RI Prof. Dr. I.B. Gde Yuda Triguna. Seperti apa pelaksanaannya, berikut laporan wartawan Bali Post, Bali Putra.
PURA Agung Wana Kerta Jagatnatha terletak di kawasan dataran tinggi Palu, persisnya di Jalan Jabal Nur No. 1, Talise, Palu Utara. Berdiri pura ini atas kegigihan para tokoh Hindu di Palu, baik yang menetap maupun urusan dinas.
Keberadaannya berdampingan dengan Kampus Muhammadiyah Palu. Paling tidak, itu menjadi salah satu indikator terjaganya kerukunan antarumat di Sulawesi Tengah. Walaupun untuk membangun pura itu tak sedikit rintangan yang dihadapi umat. Pura itu dibangun di atas lahan seluas dua hektar.
Selain pura, di sekitarnya juga dibangun sejumlah bangunan penunjang kegiatan keagamaan lain seperti sekolah/pasraman Hindu. Bahkan, sejak tiga tahun lalu, dibangun sebuah kampus Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) Dharma Sentana Sulawesi Tengah.
Pura Agung Wana Kerta Jagatnatha Sulawesi Tengah disungsung 10.675 jiwa umat Hindu se-Sulawesi Tengah dengan pangempon sekitar 400 kepala keluarga (KK) tersebar di lima banjar di Kota Palu yakni Banjar Cempaka Sari, Sandat Sari, Ratna Sari, Tunjung dan Sekar Sari. Setiap tahun, keberadaan umat Hindu terus meningkat sehingga membutuhkan tempat peribadatan yang representatif.
Awalnya, umat Hindu Sulawesi Tengah menggelar persembahyangan di rumah seorang tokoh Nyoman Edi yang memiliki palinggih dengan tempat persembahyangan berukuran 7 x 9 meter. Karena jumlah umat terus meningkat, tempat itu pun tak memadai lagi sebagai tempat persembahyangan. Dari situlah, muncul inisiatif membangun pura di tempat yang ada sekarang. Sejak berdiri, umat Hindu hanya menggelar upacara dengan tingkatan nistaning nista berupa pulegembal yang diawali mendem padagingan pertama kali tahun 1985. Sehingga setelah 25 tahun, dipandang penting menggelar upacara dengan tingkatan lebih tinggi (utamaning madya). Apalagi, Pura Agung Wana Kerta Jagatnatha merupakan pura provinsi sebagai tedung jagat Sulawesi Tengah.
Di samping itu, umat Hindu juga patut bersyukur karena telah diberi penghidupan yangi berkecukupan. ''Sebagaimana Weda, Hidup harus seimbang,'' ungkap Ketua Panitia Karya Prof. Dr. Made Antara. Umat Hindu, PHDI, tokoh masyarakat termasuk sulinggih parum. Disepakati karya digelar bertepatan dengan Purnamaning Kalima ini. ''Kami mulai persiapan sejak 17 Oktober 2010 setelah ngaturang piuning 7 Oktober 2010,'' tandasnya.
Sebelum upacara puncak, berbagai upacara digelar termasuk pamelastian di Pantai Mamboro, Palu Utara, Kamis (21/10) lalu. Selanjutnya Ida Batara nyejer selama tiga hari. ''Karya ini memakan biaya sekitar Rp 325 juta bersumber dari punia pangempon pura, PHDI Sulawesi Tengah, STAH Dharma Sentana dan punia umat se-dharma,'' ujar Antara.
Puncak karya diawali pacaruan di Utama Mandala dengan upakara Rsi Gana panca sata dengan sarana bebek bulu sikep. Madya Mandala juga sama panca sata berisi bebek bulu sikep dan asu bangbungkam. Di jaba menggunakan ayam brumbun. Semuanya untuk Butha Yadnya. Sedangkan untuk Dewa Yadnya disebut ngenteg linggih, nyatur lan mupuk padagingan. Berbagai jenis bebantenan dibuat secara gotong royong oleh umat dibimbing 15 serati dari berbagai kabupaten/kota di Sulawesi Tengah. Para serati itu sebelumnya telah diberi sosialisasi kesamaan pemahaman pembuatan banten yang berdasarkan sastra. Sehingga pembuatan banten yang biasanya dikerjakan hingga 15 hari, bisa dipersempit hingga tiga hari.
Prosesi upacara juga diisi berbagai tarian seperti Rejang Dewa, Wayang Lemah, Baris Tek-tek, Topeng Sidakarya dan lainnya. Tak ketinggalan tarian Calonarang yang dibawakan seniman Unhi dan IHDN Denpasar. Dharma wacana juga disampaikan Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama RI Prof. Dr. I.B. Gde Yuda Triguna. Seluruh rangkaian karya di-puput tiga sulinggih yakni Ida Pedanda Made Mambal dari Geria Malonas, Ida Pedanda Putu Manggis (Luwuk) dan Ida Sri Mpu Pandita (Parigi).

www.balipost.co.id

0 Comments:

Post a Comment